Selamat datang di Kawasan Penyair Nusantara Kalimantan Selatan. Terima kasih atas kunjungan Anda.

Jumat, 28 Desember 2007

H.Jauhari Effendi ( Tanjung - Tabalong )

H.Jauhari Effendi

( H.Indi )


Haji Indi , itulah panggilan akrabnya, dari Drs H Jauhari Effendi, MM. Pria dengan suara yang lantang setiap baca puisi ini adalah kesehariannya sebagai Kepala SMAN 3 Tanjung Tabalong. Dilahirkan di Desa Duyun Kecamatan Haruai tepatnya tanggal 6 Oktober 1960 hari kamis siang sekitar pukul 10.00, memiliki hobby baca dan tulis puisi bahkan cerpen yang kesemuanya terbukukan dalam berbagai antologi, juga ada pada buku Jembatan, Duri-duri Tataba, dan Semata Wayang Semata Sayang, dan buku antologi terakhir yang dibukukan oleh Jejaring satra Pahuluan berjudul Ronce Bunga- Bunga Mekar.

Kini ia menjadi kepala sekolah SMAN 3 Tanjung dan kini berbagai even seni ia ikuti. Hobbynya sastra dan musik tradisi. Ia memiliki putra tiga orang yang kini duduk di bangku kuliah anak puteri bernama Amelia Harianti yang pertama dan anak kedua puteri pula bernama Arsyimelati di SMAN I Tanjung, yang terakhir putranya bernama Alwildanielmalikurrahman sekolah di SDN Tanjung 8. Isterinya Hj. Rakhmawati,SPd. yang setia mendampinginya adalah seorang guru SLTP mengajar di SMPN 2 Tanjung.

Dalam kegiatan sehari-hari ia adalah orang yang kreatif. Pak Haji ini aktif di kegiatan pramuka dan kepemudaan. Dalam kumpulan puisi ini ia tidak ketinggalan.


WAYANG


Bergerak dalam gegap gempita sang dalang

Kita perlu membuat rencana

Semakin malam larut dalam nyanyian

Lagu gendang dan rampak berdesir

Gong dan sarun

Menghentak

Menyusup sukma

Lelah menunggu harapan

Langit terus memayungi hari

Kesedihan tak terkira kala hilang keluarga tak berbekas

Tertimbun longsor dan penderitaan

Bencana adalah wayang kehidupan

Karena arah mata angin berubah-rubah

Hiduppun jadi berakhir

Susah dan sengsara

Wayang dan dan dalang

Berharap dalam permainan memabukan

Semua bergerak dan sirna

Tak ingat apa-apa lagi

Tanjung, 20 januari 2006

A.Tajuddin ( Bacco ) - ( Tanjung - Tabalong )




A.Tajuddin ( Bacco )

( Tanjung - Tabalong )

Panggilan kentalnya Bacco, sebenarnya nama aslinya adalah Drs A.Tajuddin,M.Si ia kelahiran Hayup Haruai , 13 Agustus 1958. Banyak hal yang telah ditulisnya mulai dari artikel politik, sosial, karangan ilmiah bahkan sudah empat judul buku ia buat dan diantaranya karya terakhirnya adalah Buku Antologi puisi Silir Pulau Dewata selain yang terdahulu Jembatan, Nawu Raha dan yang terbit sekarang ini bersama para penyair pahuluan berjudul Ronce Bunga-Bunga Mekar. Selain itu ia sekarang menjabat sebagai Kabid Telematika Dinas Perhubungan Kabupaten Tabalong, jga sebagai Pemred Majalah Media Bersinar yang terbitnya sudah 21 Nomor sejak tahun 2002, dengan tiras sejumlah 8000 eksemplar pertahuan, tercatat di LIPI Jakarta dengan ISSN 1693-1343 juga tercatat sebagai anggota PWI Kalsel.

Hobbynya, menulis puisi, cerpen, dan kini mempersiapkan novel fiksinya dalam bahasa Banjar berjudul : Kaminting Pidakan, yang dimuat Majalah Media bersinar secara bersambung.

Begitulah manusia yang tiada henti berkarya ini, memiliki motto “ sekali berarti sesudah itu mati”, yang menjadi salah satu bait sajaknya almarhum Khairil Anwar, telah memacu dirinya berpoduksi terus menerus, semuanya untuk mencapai sasaran dan target pekerjaan. Namun mutu tetap diutamakan.

TARIAN BARONG DAN KERIS


Apa yang kudekap erat denganmu

Kekasih

Batu bulan atau kebajikan

Orang Bali bilang Rangda sang penjahat

Orang-orang bule mengikatkan udeng-udeng dikepalanya

Menara bersama lautan keris menyambar-nyambar

Menusuk dada tak berdarah

Menusuk dengan keris

Ya, keris palsu

Inilah permaianan dunia

Sejak lama kutahu

Dasar sering hanya mengulang-ulang

Ketika orang datang dan pergi dari dan ke Batu bulan ini

Nafas kehidupan kembali berputar

Tarian manispun hadir lagi dari dua orang galuh cantik hitam manis

Pengobat kecewa

Untuk apa kecewa

Ombak lautpun mendera di pantai Sanur

Akhirnya diam tak bergerak


Batu Bulan, Bali, Kemis, 20 Mei 2005

KAMILA

(Tanjung – Tabalong )

Mila, nama akrab yang sering dipanggil kepada Nyonya muda ini. Kelahiran Tanjung, 7 Juli 1975, memiliki banyak kreasi dalam menulis. Ia menulis puisi sejak menjadi siswi di SMAN 2 Tanjung, karya-karyanya masuk dalam antologi Potret diri dan Jembatan antologi puisi dan cerpen. Sekarang Ibu ini tetapi senang menulis puisinya, tidak bosan-bosannya meski sudah punya anak balita. Alamat rumahnya ada di jalan Tanjung Selatan RT 07 No.112 Kecamatan Murung Pudak Kabupaten Tabalong, kode pos 71571.

Kerjanya sebagai karyawan Tata Usaha (TU) SMAN 2 Tanjung, bersama rekan-rekannya tidak lupa menulis puisinya. Suaminya Budi Harto selalu mendorongnya untuk berproduksi dalam kehidupannya. Sehingga karya-karyanya dapat dibukukan.

SAJAK –SAJAK HUMA

Semaikan di ranah kaki bukit

Hadir dalam aroma bunga

Kuning keemasan saat tiba

Mentari menghidupi ladang dan huma

Setiap tahun menyimpan malai dan kandungan hidup

Angin menyejukan keringat yang tumbuh menjadi padi

Cinta yang mengalir dalam nafas

Tarikan bajak kebajak

Jika kita menikmati sarapan dipinggiran tegalan

Kenikmatan ilahiah yang sukar dicari

Lalu diam

Dan bersyukur kepadaNya

Humaku melimpah tahun ini

Tahun dimana orang mempersoalan harga beras

Bagaimanapun aku sayang ladang dan humaku

Hidup mulai berjalan lagi

Tanjung, 23 Januari 2006

Siti Juarida ( Tanjung - Tabalong )

Siti Juarida

( Tanjung - Tabalong )

Gadis ini sering dipanggil Ida dalam pergaulannya dimasyarakat. Wanita kelahiran Tanjung Tabalong, 29 Agustus 1974. Anak kedua dari dua bersaudara terlahir dari pasangan Juhri dan Nurpatiah. Ia berasal dari keluarga PNS lingkup Pemerintah Kabupaten Tabalong namun memiliki hobby sastra terutama puisi. Karya-karyanya pernah dimuat di Antologi jembatan para penyair tiga kota, Kandangan, Tabalong dan Kotabaru yang diterbitkan oleh PT Adi Cita Karya Nusa Jogjakarta tahun 2000.

Kali ini ia menulis karyanya yang sering bernuansa imaginatif dan penuh pesan remaja. Ya, itu karena penyairnya masih lajang, sehingga banyak pengalamannya di dunia remaja.



NYANYIAN DAUN


Hijau ranau menutupi bumi

Singgah sejenak air dalam genggaman

Ialah lagu yang berkicau pada burung

Embun pagi menjamah rerumputan

Dedaunan saksi kedamaian

Nyanyian daun adalah nyanyian kesejahteraan

Ia hijau yang memberikan nikmat

Dan insanpun terlena dalam buai ranah

Tempat berasal dan kembali

Nyanyian daun lagu indah

Dendang syukur dari manusia

Pada iman yang teguh tak tergoyahkan

Terus maju

Tanjung, 23 Januari 2006

Agna Dinnah Lantria ( Tanjung - Tabalong )



Agna Dinnah Lantria

( Tanjung - Tabalong )


Agna, itulah panggilan yang sangat akrab bagi mahasiswi Fakultas Kedokteran Hewan UGM SM V ini. Dilahirkan di Kandangan HSS 17 Agustus 1985 adalah putri pasangan Drs A.Tajuddin, M.Si dan Maskanah S.Pd. Aktivitas yang menjadi kegemarannya adalah belajar bahasa asing disamping menulis karya puisi dan essay kehewanan. Pada saat tertentu ia mendalami bahasa Jepang dan Inggeris. Cita-citanya ingin meneruskan pendidikan sampai ke luar negeri.

Karena itu ia sangat getol dalam menulis. Pada saat di SLTP ia pernah meraih juara dua dan juara tiga berturut-turut pada tahun 1996-1997 dalam lomba penulisan puisi tingkat SLTP se Propinsi Kalimantan Selatan. Berbagai piala telah ia raih dan tentu saja insentifnya, dong agak lumayan.

Mahasiswi ini kini tinggal di Jogjakarta dan bersama keluarganya di Tabalong mencoba meraih bintang-bintang dengan berbagai upaya meningkatkan SDMnya. Meraih prestasi itulah yang menjadi mottonya.

SLOGAN KEMAJUAN


Katanya mau maju

Baleho besar menggambarkan tujuan dan sasarannya

Jika aku terpilih aku akan memakmurkan negeri ini

Masyarakat pilihlah daku niscaya kau sejahtera

Padahal dia tak tahu debu-debu dan angin

Badai dan kekerasan

Lagu manusia yang menuhankan kekuasaan

Slogan kemajuan

Baleho besar dijejejalkan

Mulut rakyat miskin semakin kering

Perutnya telah menjadi dingin dan kaku

Tak mampu berteriak

Hanya suara dalam diam

Tak terungkapkan

Maka slogan kemajuan tak memberinya harapan

Ketika perkara sunat-sunatan membangun kekayaan pribadi

Hangat semakin tak pasti

Itulah satir kehidupan bumiku

Moga-moga berakhir

Belimbing Raya, 21 Januari 2006


Selasa, 25 Desember 2007

Nina Idhiana ( Banjarbaru )




Lahir di Banjarbaru, 6 Agustus 1987. Mahasiswa Fakultas Teknik, Program Studi Teknik Pertambangan Unlam Banjarbaru. Puisinya sering dipublikasikan di harian Radar Banjarmasin dan dimuat di beberapa antologi bersama penyair Banjarbaru di antaranya : Bulan Ditelan Kutu ( 2004 ), Bumi Menggerutu (2005), Kau Tak Pernah Tahu (2006), Seribu Sungai Paris Barantai ( 2006 ). Cerpennya “ Dari Sebuah Rumah Lanting “ meraih Juara I Kompetisi Cerpen Pelajara dan Mahasiswa se-Kalimantan Selatan 2005. Bergabung di Komunitas Kilang Sastra Batu Karaha dan Kelompok Studi Sastra Banjarbaru ( KSSB ).




Tanda Tanya


lihatlah ke dasar laut !

bawalah embun pagi dari hati kita

ke dalamannya yang suram

lalu hembuskan napas gelisah di karang hitam !

apakah jelaganya merona jadi bianglala ?

ataukah mencurahkan suatu aura ?

atau hanya jadi kepulan kelabu ?


mungkin hatiku adalah karang di lautan

lalu jiwamulah angin yang coba tepis ombak samudera

untuk sekadar memahami arti pertemuan langit dan bumi

tapi akulah yang coba berteduh di bayang bulan

sembunyi dari hasratmu yang menyilaukan


di sini telah bernisan sebuah makam

atas nama kenangan

sanggupkah kegelapan malam kau gali ?

agar dapat kurasakan getaran ini



Banjarbaru, 29 November 2004



Roeck Syamsuri ( Marabahan )




Lahir di Banjarmasin, 11 Juni 1949. Syamsuri bin Sabri ini populer nama Roeck Syamsuri. Mantan karyawan Deppen ini (1999) terpilih menjadi anggota DPRD ( Periode 1999-2004) Kabupaten Barito Kuala. Disamping menulis puisi, juga menulis naskah drama dan ulasan Budaya, cerpen dan cerita humor. Ia banyak mendapat Piagam dari Kanwil Deppen Kalsel, Bupati Barito Kuala baik sebagai aktor terbaik Teater Pertunjukkan Rakyat, Pembina Seni Tradisional. Tahun 1997 mendapat Penghargaan Seni Bidang Teater dari Gubernur Kalsel. Banyak kumpulan puisinya antara lain : Riak-Riak Barito (1979), Gardu (1998), Rimbun Tulang (1994 ), Puisi-Puisi Mantra jajarat, Dan Kariau (2003), Rumah Anakku ( 2003 ).



Rumah Anakku


Aku pernah membaca di koran, bahwa ruang

yang sempit, berpengaruh terhadap jiwa anakku

maka kami sepakat untuk membuat mahligai

dari cahaya bulan dan mengalasinya dengan

bait-bait puisi dan lukisan tiga dimensi


Di atapnya kutenggerkan antena parabola

yang mengarah ke kiblat agar capung dan anai-anai

bergemuruh dari layar televisiku, melihat sisa

limbah yang menari dijalanan


Dan kembang yang ditanam ditepi kolam mengirim

bau wangi sampai diberanda dan memabokkan bidadari,

sehingga anakku tidak kehilangan mainannya


Tapi bukan aku tak mengerti bahasa rumput

dan ulat batu, jika tertutup pintu langit anakku


Maka ketika gunung yang kureka dari sebatang lilin

terbakar dan melelehkan kacamata dan sepatu bututku,

kutanya anakku, dimana kita bangun bayangan

entahlah, sebab kemarau masih juga hadir disini



Marabahan, Medio 1994 ( dari : Rumah Anakku,2003)

Ibramsyah Amandit ( Marabahan )




Lahir di Kandangan, 9 Agustus 1943. Ia pernah menjabat Kasi Peningkatan Mutu Taman Budaya Temindung Depdikbud Kaltim (1079 ). Pengalaman berpuisi : 1971 di Yogyakarta mengikuti diskusi dan pembacaan puisi di persada Club dibawah bimbingan Umbu Landu Paranggi. Di insani Club dibawah bimbingan Emha Ainun Najib, di rumah pondokan Blimbingsasri bersama Abdul Hadi WM. Puisinya pernah dimuat di Mercu Suar Yogya ( 1971), Sampe Balikpapan (1978), Banjarmasin Post (1980-an), dan antologi puisi bersama antara lain : Bahalap ( 1995), Pelabuhan (1996), Rumah Sungai ( 1997 ), dan Jembatan Asap (1998 ).



Sajak-Sajak Bumi Selidah Puntik


Berbilang tahun jejak hujan

Meracun lidah daratan

Ragi meragi cuka


Kabut tanah rawa

Kabut kekalkan duka

Kalam wajah tungku benua


Medan kelakai dirumpun galam

Dibunuhnya tekat peladang

Tapi petarung tangguh ;

Oo takkan mati dari dalam !


Pejuang-pejuang piring nasi

Harus memasang 1 liter air mata

Bersimbah rintih dan do’a

Di Puntik di Puntik


( dari : Sajak-Sajak Bumi Selidah,2005)

Abdurrahman al-Hakim ( ARA ) ( Banjarbaru )




Lahir di Sei.Namang, Kab.HSU Kalsel, 1 Agustus 1976. Mahasiswa Fakultas Sosial Ekonomi Pertanian UVAYA Banjarbaru. Alumnus Pondok Pesantren Darussalam Martapura. Penyiar di Nirwana FM dan Masa FM Banjarmasin. Aktif di Front Budaya Godong Kelor Indonesia. Pengajar Mata Pelajaran Senibudaya (Seni Teater) di SMK Negeri 1 Martapura.Puisinya banyak termuat di media cetak lokal antara lain Radar banjarmasin, Banjarmasin Post dan di antologi puisi bersama antara lain Kau Tidak Akan Pernak Tahu ( 2006), dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006).Dibimbing Arsyad Indradi, ARA telah menyelesaikan antologi Puisi Tunggalnya kitab kecil Hikayat Shahifah “ ROH “ diterbitkan Kelompok Studi Sastra Banjarbaru (2007) dengan swadana, layout dan cetak sendiri yang diprologi Dimas Arika Mihardja dan epilog Sutardji Calzoum Bachri.



Al Hubb

Rangkulan Kebisuan Rindu


Aku telah kehilangan kata

Suara pun senyap

Kebisuan

Saat aku berada di mahligai-Mu

Di depan-Mu

Ingin hati ungkapkan beribu-ribu bait makna

Rasa yang menggumpal

Sesak penuhi setiap mili ruang dada

Kaku

Entah ke mana pecinta roman

Yang selalu bersenandung dikala jauh

Jasad yang terdiam

Terpana akan keelokan

Terpaku pada keindahan

Fana dalam keagungan


Sukma telah menghilang

Terbang diseret badai hakikat

Kedekatan tanpa kata

Keeratan tiada wujud


Nafsu perangi rinduku pada-Mu

Dalam medan pertempuran ia selalu tertawan

Karena jiwa kuinginkan Kamu

Yang terbelenggu oleh titisan al-Hubb-Mu

Dalam rangkulan Rahman-Rahim-Mu

Hingga

Jauh menjadi rindu

Dekat memagut bisu

Pada-Mu mahbubb ku


( Sekumpul, Martapura Kalsel,01.01.03-06:26 )





Minggu, 23 Desember 2007

Burhanuddin Soebly ( Kandangan )


Burhanuddin Soebly

( Kandangan )

Lahir di Kandangan, 12 Januari 1957. Menulis sejak 1979. Publikasi karyanya antara lain di media cetak : Banjarmasin Pot,Media Masyarakat, Berita Nasional (yogya),Pelita (Jakarta),Berita Buana (Jakarta),dan lain –lain.Antologi Puisinya : Palangsaran (1982),Patilarahan (1987) daqn Ritus Puisi (2000). Antologi bersama Puisi Indonesia 87 ( DKJ,TIM Jakarta 1987), dan Pertival PuisiXIII (PPIA-FASS, Surabaya, 1992 ). Tiga novelnya, Reportasi Rawa Dupa,Seloka Kunang-Kunang, dan Konser Kecemasan, merupakan Pemenang II Sayembara Penulisan Cerita Bersambung Majalah Femina Tahun 1997,1998, dan 2001. Novelnya yang lain antara lain :Biru Langit, Biru Hati ( B.Post,1979), Serenada Tnaha Bencana (B.Post,1991 dan lain – lain.Dia aktif di dunia teater. Bersama kelompok teaternya La Bastari, telah bergelar dan mengikuti Festival Pertunjukan Rakyat Tingkat Nasional,Festival Teater Anak ,di beberapa kota Indonesia. Pernah mengikuti Pesta Gendang Nusantara 6 di Malaka, Malaysia (2003). Banyak naskah teater yang ditulisnya antara lain : Parantunan (1983), Kembang Darah (1983, Roh Bukit Kehilangan Bukit (2000) dan Repoertoar Roh Bukit (2002 ).

Ziarahmalammelaka

“persiaran malam ini

jejakperistiwalama …”

Mei Lan memandu perjalanan

tapi Melaka Cuma kaca

dan dinding batu. Barangkali anak waktu

telah bergegas melepas susu ibu

dan myembunyikan jejak bapa

di mana Tuah ?

“jangan cakap pasal tu ..,” bisik

Mei Lan. Lampu-lampu muram

menjerat irama dansa.” Selagi berulit ni

di copeng telinga cakap sahaja gelora laut

setakat kapal belum karam dalam malam …”

cuma kaca

dan dinding batu. Bau rambut

membuat ruang susut. Dan sebentuki pualam

terpeta pada tilam

di mana Tuah ?

“Tun Tuah tu lagi bersama Putri Cina

mengayuh asmara di atas pusta … “

Mei Lan memandu perjalanan

peluh rinai

di rambut terurai. Selebihnya busa bir

meleleh perlahan di bibir cangkir

Melaka membunuh banua

Menguburbapa

Garden City

Malaka,2003. ( dari : La Ventre de Kandangan ).

Y.S.Agus Suseno ( Banjarmasin )


Lahir di Banjarmasin, 23 Agustus 1964. Karya puisi, cerpen, esai pernah terbit di media cetak baik lokal maupun nasional seperti Dinamika Berita, media Masyarakat, Banjarmasin Post, Merdeka, Berita Buana, Suara Karya, Kompao dan lain – lain.
Pernah memenangkan sayembara Karya Tulis Kepahlawanan se-Kalsel (1984), Sayembara Menulis Puisi Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI ) Kalsel (1985 ), Sayembara Menulis Puisi Berbahasa Banjardalam rangka Hari Jadi Kota Banjarmasin ke-464 ( 1990 ). Puisinya “ Menulis Sajak Membuka Cakrawala Membaca Sejarah “ terpilih sebagai salah satu dari 10 Terbaik nonranking Lomba Tulis Puisi Nasional oleh Sanggar Sastra Minum Kopi Denpasar ( 1990 ).

Perjalanan Pantai

seperti ada yang tertinggal
di seberang mimpi lain jejakmu
sisa kenangan dihanyutkan sesal
memburu kaki langit kelabu
pada senyap musim menggugurkan dedaunan
telah kita baca di bawah angin panas
bias cahaya senja
ditinggalkan matahari
susut perlahan
dikeabadian mati
tapi waktu bakal kjadi lain
perjalanan kelak usai
kesedihan dilarutkan lain beban
sunyi akan jadi asing dikehijauan padang
pada kesabaran hati dan ombak memecah pantai
seperti tak terdengar desir
di hamparan pasir
laut biru di bawah cakwrawala
bergerak menuju samudera

1990

A.Setia Budhy ( Banjarbaru )


Lahir di kota Marabahan, 1 Januari 1965.Sarjana FISP Unlam Banjarmasin dan Master Administrasi Program Pasca Sarjana FISIPOL UGM YogyakartaMulai menulis puisi sejak tahun 1980-an. Publikasi puisinya antara lain : di Banjarmasin Post. Pernah 10 besar Lomba Puisi Hari Pancasila (1987), 10 besar Lomba Tulis Puisi Bahasa Banjar (1992 dan 1994 ), Selain menulis puisi juga artikel umum dan sastra serta tampil sebagai nara sumber seminar dan sarasehan sosial politik dan ekonomi. Antologi puisi bersama : Jendela Tanah Air (DK Prov.Kalsel,1995) dan Narasi Matahari ( 2002 ). Kumpulan cerpennya : Gadis Dayak ( 2004 ).

Kepada Daun

Aklu ingin kalian berdoa

Agar tidurku tak bangun lagi

Dan lelap

Rebah disisiNya


Kemarin pagi Aku kawatir sekali

Burung – burung tak pernah memurkai sesama

Kupu – kupu juga tak biasa mengisap sesama

Daun – daun tak juga pernah jatuh sia – sia

Daun itu berkata : wahai bumi sini aku pupuk tanahmu dengan lembar

Rantingku


Aku merasa hina dihadapan burung, kupu dan daun

Sebab sesamaku kini saling memangsa

Saling memurka, mengisap

Sesamaku saling membantai dan saling melenyapkan


Aku getir sekali

Dan mengharap kalian berdoa sahaja

Agar tidurku tak bangun lagi

Rebah disisiNya



Marabahan Pebruari 02



Orang - Orang Riam


Sejak masa kanak aku tak paham ada apa dengan omongan demokrasi

Koran hari ini masih menderukan berita orang – orang yang terusir

dan seorang tetangga yang digelandang ke markas polisi

demonstran, “makin banyak saja orang yang menipu kekuasaan “


Kalau pemimpin telah kehilangan cinta

merampok uang rakyat adalah kehormatan

Koran hari ini masih berteriak orang – orang yang lolos jerat hukum

aku tak mengerti

sejarah melipat sendiri masa depan lalu mengubur masa lalunya

Hari ini tak ada yang perlu dirisaukan ?


Tetapi orang – orang usiran selalu bertanya. Kami seringkali meradang

pemimpin makin lihai berbuat rampok

sementara perampok sudah pandai berkhotbah tentang moralitas


Mahasiswa.”makin banyak saja kekuasaan menindas rakyat”

orang – orang Riam telah menundukkan kepalanya

Hingga mencekuk ke lutut sunyi


Sejarah telah lama memintal berjuta air mata

dari kuburan anak – anak ditenggelamkan

Menyentuh batu


Sejak kanak aku tak paham ada apa

omong kosong demokrasi


Riam Kanan Pebruari 02 ( dari : Narasi Matahari,Kilang Sastra,2002 )


M.Rifani Djamhari ( Banjarbaru )


M.Rifani Djamhari

( Banjarbaru )


Alumnus Jurusan Tanah Fak.Pertanian Unlam Banjarbaru. Salah seorang penggagas berdirinya Keluarga Penulis Banjarbaru (1988 ) dan Forum Taman Hati Banjarbaru ( 2002 ). Pengelola Pusat Dokumentasi Sastra Budaya ( PDSB ) Lentera Banjarbaru. Dia telah menulis buku : “ Karakteristik Ekosistem Pertanitan Lahan Basah Dengan Referensi Khusus Sistem Orang Banjar ( UI Press, 1998 ). Artikenya tentang kebudayaan dan lingkungan hidup, Puisi dan cerpennya banyak termuat di media cetak lokal seperti Banjarmasin Post dan Radar Banjarmasin, serta tergabung dalam antologi Puisi Penyair Banjarbaru dan Penyair Kalsel.


Jurnal Kecil Tentang Perjalanan Di Hutan Meratus

Inilah desa penghabisan : los-los pasar yang kosong, desa

yang lengang, beberapa lelaki dan anak-anak tak berbaju

--- merubung kami. Sungai iyam yang mendesau membasuh

batu waktu mengalir dari rahim kasih sayang dan kesetiaan

bumi ini. Tengoklah, langit sore yang sederhana : polos seperti

kain dikanji.

Di jalan setapak ini, para lelaki kehilangan keangkuhan diri,

Dipermainkan tebing, gunung dan lembah : rumah semakin

jauh ! Namun tetap saja sungai iyam mendesau menjelujuri

waktu. Mencari jalan ke arah hatimu !

***

Setapak huma di lereng bukit menjala sepi musim matahari

Lelalki sederhana melambai dan tersenyum padaku. “ Inilah

kehidupan kami: Sebuah pondok tak berdaun pintu. “ Hanya

dari puncak bukit dapat kausaksikan bagaimana angin,

membersihkan langit.

Meratus, 2000 ( dari : Cakrawala, Kilang Sastra, 2000 )

Minggu, 16 Desember 2007

Ceria Seyoshi ( Martapura )


Ceria Seyoshi anak pertama dari 3 bersaudara, lahir di Mandiangin, 23 Mei 1983, berdarah campuran Palembang - Banjar. Sering mengikuti lomba baca puisi pada saat di SMK, namun merasa lebih menyukai menulis puisi, mulai serius tahun 1995. Puisi-puisinya dipublikasikan di media cetak seperti buletin waTas Banjarbaru. Ia mempersiapkan antologi puisi tunggalnya.Ia sebagai juru ketik/layout di buletin waTas dan motor penggerak " Sanggar Matahari " Martapura. Bersama komunitasnya ini sering menampilkan lagu - lagu nasid, musikalisasi puisi dan pagelaran teater. Sekarang masih kuliah di STMIK Banjarbaru jurusan Teknik Informatika.

Puisinya antara lain :



Cerita Malam


berguru aku pada waktu

mencari sampah – sampah malam

dikebisuan senja

mengusik sangat lelagnya hantu bersayap

padanyalah angin

meminta izin

agar ludahnya dilean senja

demi kepatuhan kebias sunyi

katanya malam, para pengemis

dan anak – anak emperan

adalah kuncup – kuncup mekar

dipekatnya jantung kota

beserta mereka

butir – butir beruntun penyubur

bumi melengkapi manis atau pahit

perjalanan

lonceng waktu tak berpihak pada kehendak

jam dipusat kota hanya membuntuti

langkah kaki yang kotor

mengalir padanya keringat lapar dan haur


011206



Pagi Bernama Rindu



Awan mengambang di pelataran bumi

menatap jantung hati di kelahiran tanah

dengan segala kuasa

matahari siap menelurkan kecantikan

kepada gadis di bawah peradaban kota

sang lelaki telah ditunggu,

karena secawan perjumpaan di perhelatan senja tahun lalu

bukan hanya keramahan tersaji

di jalinan nafas redup

tiap jalannya darah disela urat – urat tulang daun

mengalirlah, atas nama cinta

kepada jejak – jejak manusia yang ditumbuhi moral dan cinta

pucuk – pucuk cahaya bertabur kemudian

kuanyam menjadi lautan pagi yang merindu


GD, okt 07