Selamat datang di Kawasan Penyair Nusantara Kalimantan Selatan. Terima kasih atas kunjungan Anda.

Kamis, 26 Juni 2008

A.Kusairi ( Kabupaten Tapin – Rantau )

Lahir di Rantau pada tanggal 11 Januari 1959. Puisi – puisinya dipublikasikan di media cetak antara lain : Acara Untaian Mutiara RRI Banjarmasin, Banjarmasin Post, Media Masyarakat, Dinamika Berita dan Radar Banjarmasin. Di samping menulis puisi, juga esai dimuat di majaolah Topik dan Panji Masyarakat Jakarta. Antologi puisi bersama antara lain : Antologi Penyair Delapan Kota, Banjarmasin ( 1982 ). Festival puisi se Kalimantan ( 1992 ), Wasi, kumpulan puisi Penyair Taman Budaya se Indonesia, Tamu Malam ( 1992 ), Jejak Sunyi Tsunami ( B.Bahasa Medan 2995), Ronce Bunga – Bunga Mekar ( 2007 ).Pernah Juara I lomba menulis puisi “ Pekan Apresiasi Sastra “ yang diadakan Sanggar Marta Intan Banjarbaru ( 1981 ), juara III lomba penulisan puisi Peringatan Hari Jadi Kota Banjarmasin ke-455 ( 1981 ). Sepuluh besar Penulisan Puisi Bahasa Banjar se Kalimantan Selatan ( 1983 ), juara II Lomba menulis puisi Pekan Maulid Nabi Muhammad SAW di Banjarmasin ( 1983 ). Juara I Lomba menulis puisi memperingati wafatnya Chairil Anwar se Kaliman Selatan ( 1984 ). Sehari – hari sebagai Penilik Kebudayaan Disdik Kabupaten Tapin . Bertempat tinggal di Jl.Bupati H.Said Alwi Desa Perintis Raya RT III RW II No.69 Rantau 71152. Telp.0511732416 Phone : 081348588149.
Puisinya :

PENGANTAR

ketika akan kutulis sebuah puisi
sejak senja ke larut malam tiba
perlahan sekali kita kuakkan setiap jendela waktu
untuk menyingkap tirai – tirai memutih
kemudian memandang jauh ke luar sana
menyaksikan pergantian musim
yang makin menua
dan berguguran
di antara jejak – jejak yang lelah
dari kejauhan
kita saling menatap bayang – bayang samar
yang senantiasa memperlambat langkah
sementara rindu pun beralun
bagai kepingan – kepingan mimpi
yang selalu kupunguti
dari rahim waktu
untuk merangkai sebuah cerita ringan
pelarut waktu yang senja
sebelum anak – anak beranjak tidur
baringkanlah sejenak lelah di sini
di kamar pertemuan yang berbunga ilusi
di mana harkat kemanusiaanku membenihkan puisi
yang bmenghentak – hentak gejolak sanubari
ah
tiba – tiba aku di sini
dalam kesendirian abadi

banjarmasin, desember 1981
(buat teman dekatku : J.Rasyidah )

ARJUNA MENCARI KEKASIHNYA SUMBADRA

Konon, Arjuna menetas pada rahim
wanita mandul, dan lahirlah ia
di tengah kebisikan alam
Arjuna terheran – heran
menyaksikan alam yang semakin sibuk
dengan wajah – wajah asing
Dari berjuta wajah manusia
yang tidak lagi memakai wajahnya sendiri
mereka seperti topeng – topeng
Kaku dan tak bersahabat
Arjuna semakin bingung, tak pernah
ia pahami
Kenapa ia mesti lahir kembali
di antara jutaan manusia
yang tak pernah ia kenal
Dia merasa sendiri dan terasing
dia pun tak mengenal wajah bundanya
sebab ia tak tahu siapa yang melahirkannya
Arjuna termenung
ingat akan kekasihnya, Sumbadra
Kerinduan pun menusuk jantungnya
Arjuna mencari Sumbadra, kekasihnya
ia kembara ke alam lain
pada setiap jiwa lelaki perkasa
yang rindu pada kekasihnya
“Sumbadra, kau semakin jauh,” gumamnya
ia tak tahu di mana sang kekasih berada
Tapi ia yakin, Sumbadra tak lagi
di kayangan. Ia berada di surga
“Ah, kita semakin semakin jauh ...,” gumamnya lirih
Begitu lirihnya, para dewa pun tak sempat mendengar
Dengan kesal ia tarik busur panahnya
“Kuhancurkan segala kedukaan,” pekiknya
tapi ia tak mampu melakukannya
Arjuna telah kehilangan anak panahnya
Sejak hari pertama

Februari,1990

Rabu, 28 Mei 2008

Abdul Karim Amar


Abdul Hamid adalah nama sebenarnya tetapi dalam tulis menulis dikenal Abdul Karim Amar, lahir di Kertak Hanyar, 10 November 1950. Di peta kesastraan Kalsel termasuk angkatan 70-an. Pada tahun 1977 -1980 bertugas sebagai tenaga Honorer di Studi Pemda Kotabaru. Sejak tahun 1983 sampai sekarang sebagai staf Puskesmas Kecamatan Kertak Hanyar. Aktif sebagai penasehat Persatuan Sahabat Pena Indonesia (PSPI) “Renasa”. Pendiri dan wakil ketua Sanggar Seni “ Ismanye” Kertak Hanyar priode 1974 – 1977. Tahun 1974 pernah juara III lomba mengarang prosa se Kalsel dan Juara I menulis puisi se Kabupaten Kotabaru tahun 1978. Puisi-puisinya dimuat di beberapa media massa, antara lain : SKH Banjarmasin Post, SKH Upaya, SKH Bandarmasih, Buletin NU Kodya Banjarmasin dan antologi puisi penyair Kalimantan Selatan “Tamu Malam” , 1992 .

Kuserahkan Diriku Ini Kepada-Mu, Tuhanku

Tuhanku, dalam hening di malam sepi
kuceritakan akan kesenyapan hidupku ini
dalam pengembaraan di alam tak berujut
aku sering bermimpi menuju tiada arah
mencari selaput kasih di bumi beku
Tuhanku,
adakah lagi datang buatku cinta yang perkasa
di malam seribu bulan
atau terbang tak kembali
Tuhanku,
berkat kasih-Mu kembali aku mengerti
bahwa hakikat dunia ini hanya sementara waktu
hidup, cinta, dan kemudian mati
lalu masih pantaskah gerimis mataku sepanjang hari
serta merenungi langit ungu
Tuhanku,
betapa pun hampir putus asa dan diburu kematian
tiba-tiba aku sadar
bahwa Engkau dengan kasih melunakkan
jeraji-jeraji dukana diselaput nyawaku yang usang
akhirnya aku tersungkur gemetar
sedang di cakrawala bintang telah pergi
melewatkan malam kian menyepi
dan aku tanpa waham syak ragu lagi


Kertak Hanyar, 5 Mei 2008)


Nyanyi Sunyi

wahai sukmaku yang sunyi
sendiri di antara ramai
deras deru tangismu menanti
biduk tak kunjung sampai
ah,
gairah cintaku yang sezarrah ini
belum jua tertambatkan
Tuhan
kicau murai apakah yang masih berlagu
kalau sukma ini sudah terkulai layu
atau engkau telah berlalu
deru datangkan dingin
aku sedang terbaring bisu
tiada kuasa untuk menjalin

(Kertak Hanyar, 5 Mei 2008)

Senin, 28 April 2008

M.S.Sailillah


Lahir di Pelaihari,19 Juni 1953. Menyelesaikan S 1 Jurusan Jurnalistik dan S 2 Universitas Doktor Sutomo Surabaya. Dalam kiprahnya di dunia kesenian pernah mendapat penghargaan dari Gubernur Kalsel bidang teater (1998).

Beberapa antologi bersana antara lain : antologi puisi BUNGA API. 19 AGUSTUS 94, JENDELA TANAH AIR 1995, PETA PENYAIR KALSEL, TITIAN, PUISI RELIGI BULAN RAMADHAN, UNTAIAN MUTIARA 88 dll.

Selain itu juga beberapa kali menghadiri undangan Temu Sastra antara lain di Solo dan Temu Sastra Kepulauan II di Makassar.

Dalam kesehariannya membina anak anak murid TK Al Qur’an dengan durasi waktu sekali seminggu yaitu latihan teater, pidato dan baca puisi . Usahanya ini nampaknya tidak sia sia terbukti anak anak asuhannya berhasil menjadi yang terbaik di tingkat Nasional yaitu di Surabaya tahun 2000 di Jakarta 2003 dan di Yogyakarta tahun 2005 pada bidang drama anak anak, puitisasi Al Quran, ikrar santri dan pidato pada Festival Anak Saleh.

Dalam komunitas terater Sailillah juga beberapa kali mengikuti temu teater tingkat Nasional dan Regional baik sebagai pemain, awak pentas maupun sutradara

Beberapa buah puisinya ciptaanya juga telah dijadikan lirik lagu oleh pencipta lagu Kalimantan Selatan diantaranya Sisigan Sungai, Doa untuk bunda , Maayun anak, Sound Track Sinetron Dokter Hayati dll

Penyiar dan host pada Radio Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Selatan

dan Kepala Sub Dinas Pemasaran Seni dan Budaya pada Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Banjarmasin.

Didalam beberapa organisai kesenian antara lain sebagai Koordinator Bidang Teater dan Film Dewan Kesenian Kalsel, Pengurus PARFI Cabang Kalimantan Selatan, Sekretaris Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kal Sel dan sebagai Ketua Kelompok Study Seni Sanggar Budaya Kal Sel.


Puisinya antara lain :

476 Banjarmasin Dalam Tatapan Penyair
kepada bapak h. sofyan arpan

puisi ini ah. apakah hanya desau dedaunan ditiup angin yang mengerti
puisi ini mata pisauku yang meruncing kota ini dengan mawar
sebab aku ingin melancipkannya seiring air hujan musim kemarau`
yang mengendapkan tetesan embun
itulah sebabnya mawar yang tumbuh di taman berwarna merah muda
dan selalu bermekaran
kupikir kita tinggal di bawah satu atap hanya anjung yang berbeda
aku mengenalmu, kuduga kau tidak
tapi ternyata kau mengenalku lebih dari yang ku duga
pagi itu kau tak menegur, melirikpun tidak
aku jadi sedih. Tapi akhirnya aku sadar kau punya seribu hati, seribu mata
ketika lonceng berdentang tiga kali
persis ketika kau menjenguk garba pasar yang kusut kemelut, lidah api menjulur
menganga di mulut naga
kau suruh aku menyimak geraknya yang membelit dan berenang di sungai martapura
sinar matanya menyilaukan sang pengembara
ketika aku menatap suatu pagi kota ini, kota tua kata anakku
tapi tak empat aku berfikir kota ini terbang bagai rajawali
memekik dan mengelilingi cakrawala
(dengan berseloroh anakku bilang : “papa tahu, rajawali itu yang berubah menjadi
pesawat boing yang meluluh lantakkan wtc dan pentagon 11 september di new york city”
“hus jangan lancang, kau akan ditangkap satpol pp“, ancamku
dia diam, bahkan sampai hari ini dia tidak mau lagi bicara)
aku sempat berfikir, ah masa tapi dengan tersenyum bijak kau berkata “
“ tentu saja bisa, sebab kota ini dibangun dengan nawaitu dan tawaqal alallah
ada pula nuansa yang berbuah visi, dan missipun erbungas
jadilah dia seribu sungai, seribu daya pikat, seribu rembulan dan seribu matahari
yang menyiram kota ini
(aku tersenyum, tapi senyum bangga sailillah sang penyair, sungguh)
dan, kau tahu walikotaku senyum itu berkata ” bapak haji sofyan arpan, selamat”
di tanganmu kota ini tak pernah henti mengalir
tak pernah henti menjulangkan sinar
karena kaulah mercu cahaya itu

September 2002


BURUNG KEMERDEKAAN

Dua ekor burung kertas
sepasang warna merah dan putih
dari persegi empat dilipat susah payah oleh seorang bocah
ketika ditolakkannya ke udara terbang rendah memburu mimpi
sia sia kepak sayapnya kalau
akhirnya membentur matahari
patah sayap dan kakinya
Sepasang burung kertas merah dan putih
dilipat dalam mimpi seorang bocah
ketika hinggap di pucuk cemara
tiba tiba air matanya beruraian
meratapi warna yang hilang entah ke mana
tidak juga berkibaran di pucuk tiang bendera
sementara wajah si bocah pucat pasi
sebab ia merasa bersalah telah menyimpan zat pewarna
di saku celananya
Lalu cepat cepat dilipatnya kertas yang berwarna merah
membentuk dua kemungkinan, entah burung atau kapal api
lalu dilarutkan ke sungai darah mencari jiwa yang tertinggal
dilipatya pula kertas yang berwarna putih
membentuk istana putih di suatu negeri bawah sadasr
Sesaat sepi lalu merenung
akankah merah berwarna merah lagi dan putih berwarna putih pula
bila semua enggan berbagi diri
Tiba tiba kebekuan menyeretnya ke ruang waktu yang begitu asing
karena gelap ia terjerembab, lututnya berdarah terbentur batu cadas
darah menggenang dan seketika menjelma menjadi telaga
yang menenggelamkan seisinya
Orang orang tidak bisa bersuara hanya dia seorang, bocah tadi
“inilah firdausi yang terlahir ke dunia” katanya
orang orang kembai membisu, tapi semua mafhum
kalau itu fantasi duniawi
sebab memetik kata dari daun sama dengan dzikir khusu kepadaNya

Banjarmasin, 1995


SURAT BUAT KEKASIH

kekasih, hatiku adalah gurun dalam pasirmu
debu dalam badaimu angin dalam topanmu
seberkas sinar dalam gulitamu
saat bulan tersipu, masikah ada sinar yang membekas
di hatimu
kekasih, hatiku adalah pualam
dan aku ingin merautnya dalam senyummu
lalu kita labuhkan di laut lepas yang ganas
seperti sepasang merpati putih yang terbang membelah
cakrawala tiap ketika melagukan tembang kasmaran
berlayar mencari pantai akanan
kekasih, aku tulis surat ini dalam ruang dan waktu semu
angin dingin mendirus dalam ah……hatiku
mengawang mengukir cintamu
adakah ini negeri kita yang dialiri sungai perak ke muara
kekasih, hatiku menggelombang dalam lautmu
namun dahagaku tak kan pupus sebelum perjalanan ini
menyentuh pintumu


NYALA DAN KITA

Rumah bathin kita rumah kita adalah sepi kita
Sarang di mana keluh dan peluh berlabuh
Seperti nasib antara jatuh dan sikukuh
Ke mana sang bathin pulang bila ruang
Adalah sarang ketidak percayaan dan bimbang
Hari ini mentari senyum sumringah
Tujuh lima belas kita berangkat dengan nyala di dada
Membakar bumi , membakar nasib
Semestinya ada yang harus direnung
Sebab kita adalah suara
Tapi mampukah kita mengusik kesadaran dari tidur panjang
Nyala adalah kita
Membakar bumi berjalan menembus bumi kjita
Dalam kamar dan udara terbuka
Kita katakan bangun dan rentangkan tangan lebar lebar
Menyambut cahaya di ufuk timur
Sementara nyala dan kita
Membathin tak kunjung padan

Banjarmasin Deppen Kodya 94


KOTAKU, CINTAKU

Dengan apakah mesti kukatakan
Menatap wajahmu dalam pedih
Meniti nadimu membelah telaga mimpi
O, kotaku cintaku yang merambah bunga
Dengan tubuh lunglai disibak rinai hujan
Kau beringsut meniti kemarau panjang
Dalam lengkung tarikan busur kehidupan
Anak panahpun lepas dalam ketidak mengertian
Tanpa ekspresi kami coba menatap senyum itu
Tanpa cinta membuahkan sesuatu yang musykil
O, kotaku tercinta yang tergilas beban kerakusan anak adam
harapan kian menua
Dengan apakah harus kukatakan
Melihat lenggangmu yang masih saja mengundang decak cinta
kotaku,, cintaku, perawan tua ku yang manis
Cinta yang miskin kemesraankah yang membetot betot imajinasiku
Di kamar pondokku, diliang lahatku
Betapa cantik wajahmu
Ketika tersenyum di kaca jendela pada suatu pagi
Walau dalam tatap tualang kau gadis yang lugu
Kotaku, kubilang kau gemuruh laut didadaku
Kau bunga liar di padang perburuan yang menebarkan beribu romaa
Aku merasa aneh pagi ini tiba tiba saja aku jadi teringat padamu
Tiba tiba aku sangat ingin menatap wajahmu dalam dalam lalu mengecup keningmu
O, kiranya kau dalam usia senja

Pelaihari, Desember 79

Minggu, 06 Januari 2008

Amir Husaini Zamzam ( Amuntai – HSU )


Amir Husaini Zamzam ( Amuntai – HSU )


Lahir di Amuntai, 10 November 1938. Karyanya berupa puisi dan esai sastra dipublikasikan di berbagai media cetak, antara lain di majalah Merdeka dan Pembin a( Jakarta ), SK Manikam, Upaya, Media Masyarakat, Banjarmasin Post, Dinamika Berita dan Buletin Sastra Dermaga ( Palangkaraya ). Beberapa puisinya antara lain terhimpun dalam Antologi Sajak 10 Penyair Hulu Sungai Utara (DKD-HSU,1973). Tahun 2004 menerima Hadiah Seni Bidang Sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan.

2 x 2 = 5 ?

Di dalam ilmu matematika
ilmu hitung dan ilmu kali
baik dihitung dengan jari
atau dihituing berkali-kali
2 x 2 = 4

Dalam perhitungan politik
penuh misteri terselubung 2 x 2 = ... ?
belum tentu empat
bebagai rumus tak punya arti
sering berubah-ubah
penuh teka-teki
sering tak masuk akal
akal sehat linglung
benarkah ?
tak usah dijawab
silakan berapa yang kau mau
Rakyat mafhum
semua serba semu dan kelabu

Dizaman serba mau dan edan
dengan rekayasa dan selingkuh politik
asal semua orang bikin janji
buat pernyataan kesepakatan
umumkan seluruh jagat benua
2 x 2 = 5

Inikah kemauan sejarah ?
mau bilang apa ?
harap maklum !

1971 ( Dari : Mahligai Junjung Buih, 2007 )

Fahruraji Asmuni ( Amuntai – HSU )


Fahruraji Asmuni ( Amuntai – HSU )


Lahir di Alabio – HSU, 13 Agustus 1960.Pengajar SMA Negeri 1 Amuntai ini, karya puisi, cerpen ,esai sastra dan artikel kebahasaan pernah dimuat diberbagai media cetak
antara lain, Banjarmasin Post, Dinamika Berita, Radar Banjarmasin, tabloid Serambi Ummah, Suara Aisyiyah ( Yogya ),Sahabat Pena ( Bandung), Berita Buana, Simponi, dan Kiblat (Jakarta). Puisi-puisinya sering disiarkan diacara Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni RRI Nusantara III Banjarmasin. Kumpulan Puisi Tunggalnya : Darah Impian (1982), Elite Penyair Kalimantan Selatan 1979-1985 (1988), Antara Bayang-Bayang Harapan dan Kenyataan (1989). Kumpulan puisi bersama antara lain, Bintang-Bintang Kusuma (1994), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), dan Ronce Bunga Mekar ( 2007 ).


Jemputan Kepagian

Jemputan itu datang kepagian
Padahal matahari baru dengkuran
Padahal embun dan daun masih bermesraan
Padahal pekerjaan banyak tak terselesaikan
Siapa nyana langkah hanya sependakian

Jemputan itu datang kepagian
Ada duka menghimpit persendian
Bakal apa yang dibawa
Kalau belum tersedia
Kecuali setumpuk jelaga jiwa

Akankah didera siksa berkepanjangan

( Dari : Mahligai Junjung Buih, 2007 )

Rizhanuddin Rangga ( Marabahan – Barito Kuala )


Rizhanuddin Rangga ( Marabahan – Barito Kuala )

Lahir di Barito Utara, 10 November 1957. Penyair ini juga penulis naskah drama, naskah sari tilawah, deklamator dan membaca puisi dan pernah juara tingkat Nasional. Ia juga penari dan penata tari, pernah tampil di festival Tari Japin se-Dunia di Johor Bahru, Malaysia. Kumpulan puisi bersama : Ampalas (1974), Penjuru Angin (1978), Riak Riak Barito (1979), Gardu (1979), Nyanyian Rindu Bagi Tanah Kelahiranku (1982), Kuala (1984), Menatap Cermin ( 1988), Tembang Sungai Lirik (1993), BaHALAP (1995), DAN Pelabuhan (1996). Naskah dramanya : Yang Terlupakan (1978), Garis-Garis Pelangi (1980),Garis Putih (1980), Raden Penganten (1981), Ada Fajar Di Bola Matanya ( 1982), Pelangi Di Rembang Petang ( 1984) dan Mencari Fajar (1987 ).

Cermin Rindu

Pada pertemuan arus
adalah engkau tepiannya
Marabahanku
kota kecil
yang tak kecil punya arti

Marabahanku, kota kecfilku
mengingatmu kian menebalkanj rinduku :
beningkah masih,
coklat susu air sungaimu ?
tempat berenangku dulu
bersampan,
atau mencari ikan

masihkah jinggah dan rapun rambai
berjajar
memagari tepi-tepi sungai
hijaukah masih hutan dan padang rumputmu
tempat kunikmati merdu kicau burung
indahnya bunga kekayuan
kupu-kupu dan belalang
Marabahanku, kota kecilku
kudengar engkau tambah cantik tertata apik
pedayung perahu naga
berjaya diberbagai kota nusantara

Marabahanku, kota kecilku
rinduku padamu
adalah persilangan segala rasa
yang membangun sarang berjuta angan
yang memperanak berjuta harapan

( Dari : Sajak-Sajak Bumi Selidah, 2005)

Isuur Loeweng S ( Banjarbaru )


Isuur Loeweng S
( Banjarbaru )

Lahir di Yogyakarta, 8 Juni 1980. Berangkat berkesenian sejak 1990 di teater tradisi B2S. Dimasa SLTP pernah ketua Forum Komunikasi Teater SLTP se Kabupaten Bantul. Mahasiswa ISI Yogyakarta jurusan penciptaan Seni Tari. Menulis sajak sejak awal tahun 2005. Kumpulan puisi tunggalnya “ Kumpulan Sajak Buat yang Tercinta “ dan banyak kumpulan puisi bersama antara lain “ Dimensi “,“ Taman Banjarbaru “ Bersama rekan - rekannya mendirikan sebuah buletin “ waTas “ pertengahan tahun 2007, yang memuat warta sastra. Sejak berdomisili di Banjarbaru selalu bergiat pementasan Teater dan menyelenggarakan Lomba Baca Puisi baik tingkat Kota mau pun Provinsi.

Aku Berdiri Di Antara Butiran Cinta

aku berdiri di antara butiran cinta
yang meluap sampai dinding peraduan
aku tak lagi punya tawa
seperti gadis pemintal benang emas kerajaan firaun
aku hanya mampu menengok ke belakang, lalu
melalap genangan waktu yang tak pernah berakhir
dari hadirnya

aku berdiri di antara butiran cinta
yang meluap sampai dinding peraduan
hingga kapal besarku tak mampu,
membawaku ke tepi sunyi di bawah atap tuhan

aku berdiri di antara butiran cinta
yang meluap sampai dinding peraduan
lalu,
aku hanya mampu mengaum seperti singa lapar
tanpa batas waktu pada pusaran angan
hingga malampun tak sudi singgah seperti kemarin
saat bintang berkedip di cakrawala

aku berdiri di antara butiran cinta
yang meluap sampai dinding peraduan
hingga pohon rindang mulai runtuh
tanpa teduh siang hari bersama lumpur
dan,
kerikil tajam percintaan

aku berdiri di antara butiran cinta
yang meluap sampai dinding peraduan
lalu,
tak sanggup rasakan panah-panah meluncur tanpa peduli
mengais, mengoyak kain putih di jasadku
yang mulai berubah warna

kaki langit 190305/130605 ( dari : Dimensi,KSSB,2005 )