Selamat datang di Kawasan Penyair Nusantara Kalimantan Selatan. Terima kasih atas kunjungan Anda.

Senin, 28 April 2008

M.S.Sailillah


Lahir di Pelaihari,19 Juni 1953. Menyelesaikan S 1 Jurusan Jurnalistik dan S 2 Universitas Doktor Sutomo Surabaya. Dalam kiprahnya di dunia kesenian pernah mendapat penghargaan dari Gubernur Kalsel bidang teater (1998).

Beberapa antologi bersana antara lain : antologi puisi BUNGA API. 19 AGUSTUS 94, JENDELA TANAH AIR 1995, PETA PENYAIR KALSEL, TITIAN, PUISI RELIGI BULAN RAMADHAN, UNTAIAN MUTIARA 88 dll.

Selain itu juga beberapa kali menghadiri undangan Temu Sastra antara lain di Solo dan Temu Sastra Kepulauan II di Makassar.

Dalam kesehariannya membina anak anak murid TK Al Qur’an dengan durasi waktu sekali seminggu yaitu latihan teater, pidato dan baca puisi . Usahanya ini nampaknya tidak sia sia terbukti anak anak asuhannya berhasil menjadi yang terbaik di tingkat Nasional yaitu di Surabaya tahun 2000 di Jakarta 2003 dan di Yogyakarta tahun 2005 pada bidang drama anak anak, puitisasi Al Quran, ikrar santri dan pidato pada Festival Anak Saleh.

Dalam komunitas terater Sailillah juga beberapa kali mengikuti temu teater tingkat Nasional dan Regional baik sebagai pemain, awak pentas maupun sutradara

Beberapa buah puisinya ciptaanya juga telah dijadikan lirik lagu oleh pencipta lagu Kalimantan Selatan diantaranya Sisigan Sungai, Doa untuk bunda , Maayun anak, Sound Track Sinetron Dokter Hayati dll

Penyiar dan host pada Radio Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Selatan

dan Kepala Sub Dinas Pemasaran Seni dan Budaya pada Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Banjarmasin.

Didalam beberapa organisai kesenian antara lain sebagai Koordinator Bidang Teater dan Film Dewan Kesenian Kalsel, Pengurus PARFI Cabang Kalimantan Selatan, Sekretaris Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kal Sel dan sebagai Ketua Kelompok Study Seni Sanggar Budaya Kal Sel.


Puisinya antara lain :

476 Banjarmasin Dalam Tatapan Penyair
kepada bapak h. sofyan arpan

puisi ini ah. apakah hanya desau dedaunan ditiup angin yang mengerti
puisi ini mata pisauku yang meruncing kota ini dengan mawar
sebab aku ingin melancipkannya seiring air hujan musim kemarau`
yang mengendapkan tetesan embun
itulah sebabnya mawar yang tumbuh di taman berwarna merah muda
dan selalu bermekaran
kupikir kita tinggal di bawah satu atap hanya anjung yang berbeda
aku mengenalmu, kuduga kau tidak
tapi ternyata kau mengenalku lebih dari yang ku duga
pagi itu kau tak menegur, melirikpun tidak
aku jadi sedih. Tapi akhirnya aku sadar kau punya seribu hati, seribu mata
ketika lonceng berdentang tiga kali
persis ketika kau menjenguk garba pasar yang kusut kemelut, lidah api menjulur
menganga di mulut naga
kau suruh aku menyimak geraknya yang membelit dan berenang di sungai martapura
sinar matanya menyilaukan sang pengembara
ketika aku menatap suatu pagi kota ini, kota tua kata anakku
tapi tak empat aku berfikir kota ini terbang bagai rajawali
memekik dan mengelilingi cakrawala
(dengan berseloroh anakku bilang : “papa tahu, rajawali itu yang berubah menjadi
pesawat boing yang meluluh lantakkan wtc dan pentagon 11 september di new york city”
“hus jangan lancang, kau akan ditangkap satpol pp“, ancamku
dia diam, bahkan sampai hari ini dia tidak mau lagi bicara)
aku sempat berfikir, ah masa tapi dengan tersenyum bijak kau berkata “
“ tentu saja bisa, sebab kota ini dibangun dengan nawaitu dan tawaqal alallah
ada pula nuansa yang berbuah visi, dan missipun erbungas
jadilah dia seribu sungai, seribu daya pikat, seribu rembulan dan seribu matahari
yang menyiram kota ini
(aku tersenyum, tapi senyum bangga sailillah sang penyair, sungguh)
dan, kau tahu walikotaku senyum itu berkata ” bapak haji sofyan arpan, selamat”
di tanganmu kota ini tak pernah henti mengalir
tak pernah henti menjulangkan sinar
karena kaulah mercu cahaya itu

September 2002


BURUNG KEMERDEKAAN

Dua ekor burung kertas
sepasang warna merah dan putih
dari persegi empat dilipat susah payah oleh seorang bocah
ketika ditolakkannya ke udara terbang rendah memburu mimpi
sia sia kepak sayapnya kalau
akhirnya membentur matahari
patah sayap dan kakinya
Sepasang burung kertas merah dan putih
dilipat dalam mimpi seorang bocah
ketika hinggap di pucuk cemara
tiba tiba air matanya beruraian
meratapi warna yang hilang entah ke mana
tidak juga berkibaran di pucuk tiang bendera
sementara wajah si bocah pucat pasi
sebab ia merasa bersalah telah menyimpan zat pewarna
di saku celananya
Lalu cepat cepat dilipatnya kertas yang berwarna merah
membentuk dua kemungkinan, entah burung atau kapal api
lalu dilarutkan ke sungai darah mencari jiwa yang tertinggal
dilipatya pula kertas yang berwarna putih
membentuk istana putih di suatu negeri bawah sadasr
Sesaat sepi lalu merenung
akankah merah berwarna merah lagi dan putih berwarna putih pula
bila semua enggan berbagi diri
Tiba tiba kebekuan menyeretnya ke ruang waktu yang begitu asing
karena gelap ia terjerembab, lututnya berdarah terbentur batu cadas
darah menggenang dan seketika menjelma menjadi telaga
yang menenggelamkan seisinya
Orang orang tidak bisa bersuara hanya dia seorang, bocah tadi
“inilah firdausi yang terlahir ke dunia” katanya
orang orang kembai membisu, tapi semua mafhum
kalau itu fantasi duniawi
sebab memetik kata dari daun sama dengan dzikir khusu kepadaNya

Banjarmasin, 1995


SURAT BUAT KEKASIH

kekasih, hatiku adalah gurun dalam pasirmu
debu dalam badaimu angin dalam topanmu
seberkas sinar dalam gulitamu
saat bulan tersipu, masikah ada sinar yang membekas
di hatimu
kekasih, hatiku adalah pualam
dan aku ingin merautnya dalam senyummu
lalu kita labuhkan di laut lepas yang ganas
seperti sepasang merpati putih yang terbang membelah
cakrawala tiap ketika melagukan tembang kasmaran
berlayar mencari pantai akanan
kekasih, aku tulis surat ini dalam ruang dan waktu semu
angin dingin mendirus dalam ah……hatiku
mengawang mengukir cintamu
adakah ini negeri kita yang dialiri sungai perak ke muara
kekasih, hatiku menggelombang dalam lautmu
namun dahagaku tak kan pupus sebelum perjalanan ini
menyentuh pintumu


NYALA DAN KITA

Rumah bathin kita rumah kita adalah sepi kita
Sarang di mana keluh dan peluh berlabuh
Seperti nasib antara jatuh dan sikukuh
Ke mana sang bathin pulang bila ruang
Adalah sarang ketidak percayaan dan bimbang
Hari ini mentari senyum sumringah
Tujuh lima belas kita berangkat dengan nyala di dada
Membakar bumi , membakar nasib
Semestinya ada yang harus direnung
Sebab kita adalah suara
Tapi mampukah kita mengusik kesadaran dari tidur panjang
Nyala adalah kita
Membakar bumi berjalan menembus bumi kjita
Dalam kamar dan udara terbuka
Kita katakan bangun dan rentangkan tangan lebar lebar
Menyambut cahaya di ufuk timur
Sementara nyala dan kita
Membathin tak kunjung padan

Banjarmasin Deppen Kodya 94


KOTAKU, CINTAKU

Dengan apakah mesti kukatakan
Menatap wajahmu dalam pedih
Meniti nadimu membelah telaga mimpi
O, kotaku cintaku yang merambah bunga
Dengan tubuh lunglai disibak rinai hujan
Kau beringsut meniti kemarau panjang
Dalam lengkung tarikan busur kehidupan
Anak panahpun lepas dalam ketidak mengertian
Tanpa ekspresi kami coba menatap senyum itu
Tanpa cinta membuahkan sesuatu yang musykil
O, kotaku tercinta yang tergilas beban kerakusan anak adam
harapan kian menua
Dengan apakah harus kukatakan
Melihat lenggangmu yang masih saja mengundang decak cinta
kotaku,, cintaku, perawan tua ku yang manis
Cinta yang miskin kemesraankah yang membetot betot imajinasiku
Di kamar pondokku, diliang lahatku
Betapa cantik wajahmu
Ketika tersenyum di kaca jendela pada suatu pagi
Walau dalam tatap tualang kau gadis yang lugu
Kotaku, kubilang kau gemuruh laut didadaku
Kau bunga liar di padang perburuan yang menebarkan beribu romaa
Aku merasa aneh pagi ini tiba tiba saja aku jadi teringat padamu
Tiba tiba aku sangat ingin menatap wajahmu dalam dalam lalu mengecup keningmu
O, kiranya kau dalam usia senja

Pelaihari, Desember 79