Selamat datang di Kawasan Penyair Nusantara Kalimantan Selatan. Terima kasih atas kunjungan Anda.

Senin, 15 Oktober 2007

East Star from Asia ( Banjarbaru )



East Star from Asia, Penulis Kalimantan Selatan paruh akhir dekade 80-an, merantau dari Sumatera sampai Irian Jaya dan pulang tahun 2002, kini berdomisili di Banjarbaru, Kalsel. Dulu (semasih kuliah), tulisannya berupa esai, cerita pendek, puisi dan opini dimuat di beberapa media cetak seperti majalah Estafet, harian Merdeka (nasional) dan lain-lain, juga

Banjarmasin Post dan Dinamika Berita (lokal), serta kini Radar Banjarmasin. Beberapa cerita pendek dan puisinya memenangkan beberapa perlombaan. Misal, cerpen Hhh Bandit terpilih sebagai salah satu pemenang lomba penulisan cerpen nasional di Banjarmasin (1992), untuk puisi Alif-alif dinobatkan sebagai puisi terbaik Temu Sastra Kalsel (1988) di Martapura, dan ia terpilih menduduki lima besar penyair Untaian Mutiara asuhan (alm) Hijaz Yamani selama tahun 1990 lewat puisi berjudul Ibu di RRI Nusantara III, Banjarmasin.

Publikasi ini dipersembahkan buat East Sun from Asia (02/12/2002), nama samaran lelaki jantung hatinya, dan tampan. E-mail: penyair.indonesia@gmail.com, www.penyair-indonesia.blogspot.com.

Salah satu puisinya :

Sajak warga negara

di Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ini

apakah aku berada di negara Indonesia?

apakah aku warga negara Indonesia?

Indonesia tanpa Ketuhanan yang Maha Esa,

bukan Indonesia*

Indonesia tanpa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,

bukan Indonesia*

Indonesia tanpa Persatuan Indonesia,

bukan Indonesia*

Indonesia tanpa Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, bukan Indonesia*

Indonesia tanpa Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,

bukan Indonesia*

di Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ini

aku bukan berada di negara Indonesia

aku bukan warga negara Indonesia

Indonesia tanpa Pancasila yang kurasakan,

bukan, bukan Indonesia **

Banjarbaru 1989

Huruf Italic (miring) (*) diminta diucapkan/disahuti oleh penonton/pendengar, dan (**) diucapkan pembaca puisi dengan penonton/pendengar bersama-sama.

Minggu, 14 Oktober 2007

Fitriyani ( Murung Pudak - Tabalong )


Lahir di Banjarmasin, 24 April 1977. Menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia di FKIP UNLAM Banjarmasin (lulus tahun 1999). Sekarang berstatus sebagai guru di SMAN 1 Muara Uya, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.
Menulis puisi dan cerpen sejak di Sekolah Menengah Pertama dan antara lain dipublikasikan di Mentari, Buletin Sekolah “Ekspresi”, dan Radar Banjarmasin. Semasa kuliah aktif di Teater HIMASINDO dan Sanggar Ian Emti. Sekarang lebih gigih menggerakkan dan memberikan pembinaan pada Sanggar Seni “Zikir” SMAN 1 Muara Uya. Beberapa puisinya pernah menghiasi Antologi Puisi Kau tidak akan pernah tahu rahasia sedih tak bersebab, sebagai antologi sastra pemenang lomba penulisan puisi dan cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan III tahun 2006 (Kotabaru). Salah satu puisinya :

Perempuan Para
Sebelum subuh datang menyapa
Kau buka kelopak mata
Meski tangan menggayut dada
gigil memeluk raga
nyeri tetek masih tersisa
Kau kekeh tuk beranjak
salut

Sebelum bilal lantun suara
Panggil kelana bernapas fana
Yang terlena dalam buaian
Kau tanak nasi penghimpun raga
Kau goreng ikan sisa yang hampir basi
Menghias meja membuka pagi
takjub

Sebelum melihat tatap senyum suamimu
makin memudar bara lunglai terkulai sansai
Sebelum tangis kecil gema menyayat
Kau berpijak tanah membuat segunduk harap
Sepeda butut terkayuh di jalan sarat liku
Meski kabut enggan berpulang ke peraduan
Kaki-kaki embun berpijak pelan
Kau berputar dengan perlahan
Dari para ke para yang lain
Menoreh harap sepekan dinikmat hitungan hari
bangga

Perempuan para
Sebegitu kisahmu senyum tetap sumringah
Sebegitu nasibmu cinta takkan berpindah
kesetiaanmu
kesabaranmu
ketegaranmu
decak bersimbah

Perempuan para
Di dadaku menumpuk ragu
Ku tak yakin bisa sepertimu

Murung Pudak, 10 Mei 2006

Eko Suryadi WS ( Kotabaru Kalsel )


Lahir di Kotabaru, Kalsel, 12 April 1959. Sarjana Administrasi Negara STIA Bina Banua Barjarmasin Master Manajemen Universitas Dr Soetomo Surabaya dan UT Jurusan Komunikasi. Tulisannya dipublikasikan di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Terbit, Pelita, Sinar Harapan, dan lain-lain. Antologi tunggalnya : Sebelum Tidur Berangkat (1982), Ulang Tahun (1982), dan Dibalik Bayang-Bayang (1983). Antologi Bersama : Dahaga B.Post ’81 (1982), Elite Penyair Kalsel 1979 – 1985 (1986), Tamu Malam (1992), Kesaksian (1996), Wasi (1999), Kasidah Kota (2000), Jembatan Tiga Kota (2000). Aktif di Sanggar Bamega 88 (Ketua), Himpunan Sastrawan Indonesia Kotabaru (Ketua), dan Ketua Dewan Kesenian Kotabaru masa bakti 1995 – 1998 dan 1998 – 2002. Mendapat penghargaan dari Bupati Kotabaru sebagai Pembian Seni Teladan (1999) dan Tokoh Seni Kotabaru (2001).
Salah satu puisinya :

Di Batas Laut

kau rindukan kekosongan
di dada yang biru
lewat jari tanganku yang terbakar

aku larut ketika kau mengaca
menghias buih-buih yang mengelana
ada yang membekas ketika menatap
dari hampa ke rindu yang dikuburkan

waktu meraba bibirnya matahari
cuacamu berdetak keras
gugurkan mimpi laut

di batas laut satu sukma menyapaku
dari cahaya tubuhmu
biru

Kotabaru, 1981

H.Sjachrani Mataya ( Kotabaru Kalsel )


Lahir di Balikpapan pada 11 Oktober 1948. Pendidikan Sarjana Adiministrasi STIA Bina Banua Banjarmasin dan Pasca Sarjana Magister Manajemen STIE IPWI Jakarta. Menulis puisisejak tahun 1975, puisi-puisi yang pernah dibukukan dalam bentuk Dokumentasi Kumpulan Sanjak Pencinta Sastera “Disela Karang” dengan judul puisi “Salam Karyawan Lewat Bulan Purnama” diterbitkan Dewan Kesenian Daerah Tingkat II Kotabaru tahun 1975, dan karya yang lain “Bersama Mengayuh Bahtera Saijaan” tahun 2000. aktifdalam kegiatan organisasi seperti Ketua Presidium Ketua Aksi Kesatuan Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) Rayon Kotabaru tahun 1966 – 1968, Sekretaris Dewan Kesenian Daerah Kotabaru Tahun 1971. Ketua Abituren SMEA Kabupaten Kotabaru.Riwayat pekerjaan dimulai dari Pegawai PN Perhutani Kotabaru pada 1970 – 1973 hingga menjadi Bupati Kotabaru periode 2000 – 2005, 2005 – 2010.
Salah satu puisinya :

Bersama Mengayuh Bahtera

Limapuluh tahun yang lalu
Kularutkan sebuah kapal di hulu rumahku
Yang dirajut oleh benang kasih sayang orangtua kita
Ketiak gerimis menggesekkan daun
Dalam serbuk hujan
Menyampaikan salam semesta
Ku genggam filosofi kearifan
Dan kasih sayang
Yang diajarkan para guru
Dalam setiap langkahku

Masih limapuluh tahun yang lalu
Ketika isyarat itu kurasakan
Betapa panjangnya perjalanan sebuah penantian
Pelyaranyang bergonta-ganti nakhoda
Pelabuhan selat karang menanti sepi
Menunggu puteranya kembali

Sjachrani kecil masih suka bermain gapu
Membuat istana pasir
Merajut mimpi dengan lunta
Atau bermain perang-perangan
Menyerukan azan dari surau ke masjid
Seperti memainkan sebuah melodi
Menulis mimpi masa depan
Setinggi puncak sebatung
Menjalani hidup
Melewati semua ujian
Merasakan semua kepahitan
Selalu dengan air mata
Tuhan memberiku ujian
Tetapi selalu diberikan jalannya

Ketika usiaku memasuki tahun emas
Selat laut memberiku salam ombak
Ketiakbumi saijaan menggoreskan sebuah peristiwa
Dipundakku diserahkan sebuah tanggung jawab
Menakhodai kapal saijaan
Yang tetap harus berlayar
Melewati pergantian jaman
Merombak sistem kebekuan
Dari orde keorde berikutnya

Dalam sujud syukurku
Terbaca peta pengabdian, sebuah tekad
Membangun negeri saijaan
Mengejar ketertinggalan
Membuat jembatan sejarah
Seperti lintasan kereta di negeri sakura
Membaca aksara kata
Membangun peradaban generasi
Mendekatkan desa dan kota
Menyelaraskan mimpi dan musim
Dan kemakmuran kehidupan

Masih dalam tafakurku
Kukayuh bahtera ini bersama ribuan tangan
Mengarungi medan bakti, aku tidak sendiri
Karena, warga saijaan bersamaku
Terima kasih, tuhan
Allahu akbar
Majulah kotabaru

ditulis di Kotabaru, 5 Januari 2006
setelah terpilih sebagai Bupati Kotabaru
pada sidang Paripurna DPRD Kabupaten Kotabaru

Micky Hidayat ( Banjarmasin )


Lahir di Banjarmasin, 4 Mei 1959.Mulai menulis sejak tahun 1980. Karyanya berupa puisi, esai, kritik sastra, masalah kesenian dan kebudayaan terpublisir di berbagai media cetak lokal dan nasional. Antologi tunggal dan bersama di antaranya: Dahaga (1981), Aku Ingin Jadi Penyair Yang (1982), Penyair Asean (1983), Siklus 5 Penyair Banjarmasin (1983), Terminal (1984), Banjarmasin Kota Kita (1987),Puisi Indonesia ’87 (1987), Kul Kul (1992), Jendela Tanah Air (1995)Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia (1995), JakartaDalam Puisi Mutakhir (2000), Datang Dari Masa Depan (2000), Antologi Puisi Tsunami (2005), Perkawinan Batu (2005), dan Meditasi Rindu (dalam rencana untuk diterbitkan). Pernah diundang baca puisi da mengikuti berbagai forum sastra di Tanah Air : Banjarmasin, Bali Jogyakarta, Solo, Tasikmalaya, Riau, dan membacakan puisi-puisinya di TIM pada Pertmuan Sastrawan Jakarta (1986), Forum Puisi Indonesia ’87 (1987) dan Cakrawala Sastra Indonesia (2005).Tahun 1997 ia mengukir prestasi keberhasilannya menciptakan rekor membaca puisi selama 5,5 jam non - stop, dan namanya tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI).Tahun 1998 ia memperoleh Penghargaan Seni dari Pemerintah Provinsi Kalsel.Kini aktif di Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Banjarmasin (ketua) dan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Kalimantan Selatan. Salah satu puisinya :

Meditasi Rindu
Bagi ayahnda Hijaz Yamani

1.
Mengingat kembali dirimu
Keterasingan dan sunyi pun menyapa
Menulisi air mata, di antara kata-kata liar buruanku
Mengaliri duka cita tak pernah terucapkan
Sekelompok camar membelah laut
Kumandang takbir melayang-layang di udara
Menyusun riwayat dunia yang tak pernah tamat kubaca
Selalu kubaca, berulang-ulang aku membacanya

2.
Tiba-tiba rinduku padamu
Menjelma sebuah menara menjulang
Mengajari udara beterbangan
Dengan kesabaran
Mengusik cuaca dan angin
Cahaya matahari mengirimkan salam dan doa
Yang tumpah dalam kenikmatan ruang dan waktu
Dalam keheningan sempurna

3.
Bayang-bayang wajahmu
Menjelma rembulan dan bintang-bintang
Di hamparan sajadah kebijaksanaan
Kekhusukan tasbih dan tahmid
Dengan kesetiaan samudera
Berkelebatan ayat-ayat
Berkilauan rahasia-rahasia
Tebing-tebing mimpi dunia
Yang diselimuti kabut
Dalam tahajud sunyi

4.
Mendaki, mendaki
Mendakilah !
Semadi, semadi
Semadilah !
Hingga ke puncak zikir kembara
Telah engkau reguk kehidupan fana dengan air mata
Telah engkau enyahkan kilau-kemilau dan kecemasan dunia
Menuju ketenangan maha sempurna

5.
Telah engkau tamatkan membaca beribu ayat
Hingga menerangi alam semesta
Telah engkau tuntaskan tafakur dalam keheningan
Berkhalwat dalam salawat
Cahaya nabi dan para rasul
Mengembara menuju mahsyar
Bertakbir tak habis-habis takbir
Di keluasan sajadah
Hingga sujud dalam rakaat demi rakaatmu
Menyentuh surga

6.
Dan aku di sini, di puncak kerinduan ini
Beribu tahun memunguti kesepian tak terperi
Dalam ketidakberdayaan, di ruang kefanaanku
Dan menanti, akankah kau datang lagi dengan senyum khasmu
Kemudian pergi tanpa pamit bersama mimpiku yang mawar
Juga rinduku tak terpuaskan

7.
Sebagaimana sajak-sajak yang mengalir
Dari kawah batinku, pada setiap puncak pendakianku
Selalu saja menulisi kecemasan dunia
Menangisi luka bulan, bintang-bintang, dan matahari
Mentasbihkan kebijakan dan kebajikan
Menzikirkan kebaikan dan kebenaran
Yang pernah kau ajarkan diam-diam padaku
Seperti kediaman batu-batu

8.
O, bapak, sebagaimana puisi-puisimu
Yang kini tak bisa lagi bicara
Tetapi masih berulang-ulang kubaca
Aku baca !
Sebagaimana aku terus belajar mengeja
Dan mencari kata-kata
Sebagaimana aku terus belajar membaca
Isyarat dan gerak zaman
Sambil mengumandangkan ayat-ayat kebenaran
Dengan cahaya zikir dan air mata doa
Mengkristal dalam jiwamu yang mawar
Bersemayam cahaya maha cahaya-Nya

2001/2003

Imraatul Jannah ( Martapura )


Lahir di Kandangan, 2 Mei 1982. Masih meneruskan studinya di Pondok Pesantren Drussalam Martapura dan bergabung di Komunitas Kilang Sastra Batu Karaha Banjarbaru. Menulis
puisi sejak tahun 1995, namun baru berani mempublikasikannya pada tahun 2000. Publikasi karyanya pada Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni di RRI Nusantara III Banjarmasin, Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin dan Tabloid Budaya Serambi Ummah Banjarmasin. Antologi puisinya antara lain Epilog Hari Ini (2002), Jika Cinta Telah Menyapa (2004), antologi bersama antara lain Potret Tiga Warna (2000), Narasi Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), Bulan Ditelan Kutu (2004) dan Bumi Menggerutu (2005).Dalam menulis sering menggunakan nama pena Annisa. Salah satu puisinya :

Engkaukah Ababilku, Akhuya

engkaukah ababilku, akhuya ?
musim yang beringas memangku piala keangkuhan abrahah
dan tentara bergajah. bulan yang berdarah membentangkan
sisi kemanusiaan yang menyanyikan tembang kepedihan
di hatiku.

kepakkan sayapmu yang indah. bumi yang kita huni
begitu merindukan jejak perjalananmu menjadi pilar
tegaknya sebuah peradaban dan mengembalikan kehidupan kita
yang pernah tercabik, ketika granadapun pecah dan berdarah
turki usmani telah tiada, bahkan abbasiyah
hanya tinggal nama

akhuya, jika engkau ingin memahami laut, belajarlah
kepada gelombang atau karang-karang. kesetiaan
yang kita miliki, tak semestinya membuat kita kehilangan
jati diri kita yang hakiki. biarlah airmatanya menulis
sajak-sajak kelahiran yang tumbuh dari cermin jiwa
keletihan seorang bidadari.

hari ini, kukecup tanganmu penuh rindu. dan kusematkan
mahkota kebesaran seorang mujahid, jika engkau anggukkan
kepalamu, seraya memelukku, kemudian berkata
“akulah ababilmu, ukhti,”

(30052005)

Hudan Nur ( Banjarbaru )


Lahir di Banjarbaru, 23 November 1985. Sekarang sedang menempuh pendidikandi FKIP UNLAM Banjarmasin. Ia sering mengikuti lomba menulis puisi baik tingkat kota maupun propinsi. Terakhir memenangkan Lomba Penulisan Cerpen dalam rangka Bulan Bahasa se-Kalimantan Selatan. Selain itu, juga eksis dalam penulisan artikel. Ia salah satu aktivis teater. Beberapa sanggar Banjarbaru pernah disinggahinya sewaktu ia duduk di bangku SMA. Namun ia lebih bermonolog. Dalam event-event bertajuk seni ia sering tampil sendiri membawakan musikalisasi puisi. Antologi pribadi: Si Lajang dan Tragedi 3 November. Antologi Bersama: Narasi Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), Bulan Ditelan Kutu (2004), Bumi Menggerutu (2005), Dimensi (2005) serta Jejak Tsunami (Medan, 2005). Dalam menulis ia sering menggunakan nama pena K. Ariwa. Salah satu puisinya :

Narasi Kebugilan Sejati (2)
(Buat: Kekasihku yang kehilangan keperawanannya)

melalui langkah-langkah abstrak pada bebatuan
yang membisu
kembali engkau kirimkan kabar hari esok
dengan kesadaran berlimpah dan aura
ringkih pembagian narasiku

yang katamu: “airmataku telah dirampok”
“kemaluanku telah dijarah”
“kebebasanku telah disahaya”

aku meyakininya sebagai perpaduan antara pilu dan sepi
purna berbentuk sembilu
penuh sayatan

engkau juga tuliskan teriakan yang dibungkus dalam kartu kematian
namun aku bisa apa jika pesta darah
hanya dihadiri tiga helai kafan dan sebidang tanah?

(In Memorian 23 Januari 2005: 23.45 WITA)

Hamami Adaby ( Banjarbaru )


Lahir di Banjarmasin, 3 Mei l942. Kumpulan puisi sendiri : Desah (1984), Iqra (1997), 3 judul buku puisi Dunia Telur, keumba dan Nyanyian Seribu Sungai disatukan judul : Nyanyian Seribu Sungai (2002), Bunga Angin (2002), Akuarium (2005), dijadikan satu judul : (Bunga Angin), Dermaga dan Refleksi (2003), dijadikan satu judul : Dermaga. Bahasa Banjar Uma Bungas Banjarbaru (2004). Antologi bersama : Banjarbaru Kotaku (1974), Dawat (1982), Bunga Api (1994), Bahalap (1995), Pelabuhan (1996), Jembatan Asap (1998), Bentang Bianglala (1998), Cakrawala (2000), Tiga Kutub Senja (2001), Bahana (2001), Narasi Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), Bulan Ditelan Kutu (2004), Anak Zaman (2004), Baturai Sanja (2004), Bumi Menggerutu (2005), Dimensi (2005), Garunum (2005) Pernah juara I Panggung Pelajar Banjarbaru (Deklamasi, 1962), juara I mengarang Puisi Hari Ibu (1972), juara I syair hymne Penastani Kalsel dan juara I Nasional (1980 dan 1983), Menerima piagam seni dari Walikota Banjarbaru (2004). Salah satu puisinya :

Tentang Rasa
(: Ide Nusantara,Arsyad Indradi)

Terasaku serasa rasa seperti kamu
yang terasa dalam perasaan ada rasaku
rasa nikmat terasa dalam perasaan
disyukuri nikmat bertaut makna

Di darah merah kita mewarna sewarna
lalu bagaimana rasa yang ditiup hembus angin
bermakna esa nafas yang ada rasa
diraba rasa dirasa belum lagi sempurna
dikepak sayap usia

Yang kau beri aku rasa susu lezatkah rasa ?
dalam kental warna teraba rasa
antara buah jakun dan perut, habis warna
makna terasa dalam seribu rasa
Tapi ada zat pewarna yang mengubah rasa
cacing-cacing melipat tanah, ulat melipat warna
gulung menggulung daun perasa terhimpit sisa warna
cahaya siapa datang membangun rasa
dalam rumah tanpa penghuni

Ada jendela rasa yang mengeliatkan rasa
dalam rasa, rasaku dan rasanya
Adalah rasanya seniman lapar tak terasa
haus dahaga menatah rasa jadi perasa sejati
seniman kutub berkiblat rasa renyuh suara kecapi
katanya adakah seniman yang kaya raya
kalau ada potong lidahnya, rasakan perihnya
berdarah-darah dalamkeping rasa
Adakah seniman terdengar korupsi ?
kalau dugaan itu benar, paling mengorup kata-kata
boleh juga kalau memang demikian
Rasaku, rasa engkau dan kalian berbeda warna.

Banjarbaru, 10 Februari 2005

Eza Thabry Husano ( Banjarbaru )


Lahir di Kandangan (Kalsel), 3 Agustus 1938. Pendidikan SLTA di Kandangan, Pendidikan Pegawai Deppen Tingkat Atas (PPSDA) Banjarmasin (1967), Diklat Kewartawanan se-Indonesia Surabaya (19970), SESPEN I LAN Jakarta (1977), DiklatJjupen BINTER Bandung (1985), Pintaloka Terpadu Madura (1987). Pensiunan PNS sebagai Kepala Deppen Kabupaten Barito Kuala di Marabahan (1983-1994), Karya tulisnya tersebar di berbagai media cetak antara lain : Banjarmasin Post,Radar Banjarmasin, Tabloid Wanyi, Serambi Ummah, Merdeka, majalah Mimbar dan lain-lain. Kumpulan puisi baik tunggal maupun bersama antara lain : Getar (1995), Getar II (1996), Getar III (1996), Datang dari Masa Depan (1999), Perkawinan Batu (2005), Dimensi (2005), Dawat (1982), Rakit Bambu (1984), Surat Dari Langit (1985), Tiga Kutub Senja 2001), Narasi Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), Bulan Ditelan Kutu (2004), Baturai Sanja (2004), Bumi Menggerutu (2005). Salah satu puisinya :

Tafsir Jejak Kita

saat kutoreh sungaimu kau tangkap kayuhku
sambil menolehkan luka nenek-moyangmu
dalam bahana perjalanan yang kesekian rintihan
hingga aku mabuk dalam mencari tambatan
lalu kurajah kasih-sayang di sekujur cahaya langit
di antara lekukan bukit yang kubangkit
dari segenggam tanah dan kesunyian
kita pun tenggelam

: di pelabuhan penghabisan

“Kau dirus kuang lukaku” jeritmu berulangkali
menyeberangkan nasib dibantingan matahari

seperti perahu mencari tambatan muara

seperti embun membasuh kelopak bunga

“Beginilah tafsir jejak kita” seru nasib manusia

: berbagi airmata

Banjarbaru (2005)

Rahmatiah ( Banjarbaru )


Lahir di Nusa Tenggara Barat, 3 Juli 1979. Seorang perawat bekerja di Poltekkes Banjarmasin. Tulisannya berupa sajak pernah dimuat di Radar Banjarmasin, Dinamika & Kriminal (Lampung) dan majalah SABILI .Beberapa sajaknya terdapat dalam Antologi bersama “ Kau tidak akan pernah tahu rahasia sedih tak bersebab “ pemenang penulisan Puisi dan Cerpen pada Aruh Sastra Kalsel 2006. Salah satupuisinya :



Perempuan Yang Mencintai Kunang-Kunang


Teringat Ibu

Dia perempuan yang selalu meletakkan lelampu
Di belakang pintu
Lalu kemudian pergi setelah menidurkan gerimis
Yang tergenang di anak rambutmu
Setelah bercerita
Ada kunang-kunang terjebak di rendaman aurmata
Dan tak sempat lagi meneukan lorong cahaya

Perempuab itukah yang dulu pernah menjelajah gelisahmu ?
Menangisi bau rambutmu
Meniupkan selembar rindu yang setiap malam
Meriap di atap-atap
Sebab rumah adalah tempat menumbuhkan kenangan

Tapi
Mungkin perempuan itu kini pun telah menjadi batu
Dalam sumur ingatanmu

Banjarbaru,Januari 2006

Dewa Pahuluan ( Banjarbaru )


Nama sebenarnya Fitri Zamzam lahir di Kandangan, 15 Mei 1957. Menulis puisi dan esai mulai tahun 1980. Karyanya dipublisir di media massa antara lain di Dahaga Banjarmasin Post, Media Masyarakat. Di posko La Bastari Kandangan menerbitkan antologi puisi Palangsaran ( 1982 ), bersama empat penyair Banjarbaru ( Hamami Adaby, Arsyad Indradi, Rudi Resnawan, Ersis WA) menerbitkan puisi berbahasa Banjar Garunum (2006). Ia sarjana S 2 ini adalah Presiden Minggu Raya (MGR) Banjarbaru aktif dalam kegiatan pemuda termasuk seni. Senang pop dangdut. Salah satu puisinya:

Mudik

Sekelebat ia datang
menjemput tumpangan
mudik
Ya, mudik yang sebenarnya
Cukuplah bekal sangu kita
sampai ketujuan ?
Nirwana sorgawi
Duh, nikmatnya

Banjarbaru, 2005

Arsyad Indradi ( Banjarbaru )


Lahir di Barabai, 31 Desember 1949. Pernah dijebloskan ke penjara bersama 15 seniman Banjarmasin karena perang melawan tirani (1972). Pernah kuliah di Akademi Teater dan Film Banjarbaru (1985). S1 Bahasa Indonesia dan Seni STKIP, Bahasa dan Sastra Indonesia Unlam Banjarmasin. Pendiri Galuh Marikit Dance Group dan Kelompok Studi Sastra Banjarbaru. Pernah Juara I,II,III Lomba Cipta Lagu Kanak-Kanak se-Kalsel (1987). Mendapat penghargaan dari Majelis Bandaraya Melaka Bersejarah pada Pesta Gendang Nusantara 7 Malaysia (2004), dan penghargaan seniman Tari dari Walikota Banjarbaru (2004). Pengajar mata kuliah Seni Tari/Drama FKIP jurusan PGTK / PGSD Unlam Banjarbaru. Kumpulan puisi tungggalnya Nyanyian Seribu Burung (2005) Narasi Musafir Gila (2006) Romansa Setangkai Bunga (2006) Kalalatu (2006) dan bersama Jejak Berlari (1970), Tamu Malam (1992),Jendela Tanah Air (1995), Rumah Hutan Pinus (1996), Gerbang Pemukiman (1997), Bentang Bianglala (1998), Cakrawala (2000), Bahana (2001),Tiga Kutub Senja (2001), Bulan Ditelan Kutu (2004), Anak Zaman (2004), Baturai Sanja (2004), Dimensi (2005). Salah satu puisinya :

Darah

Adalah langit darah berdarah
Tak habishabis jadi laut berabadabad telah
tak berpaus di atasnya rajah perahu Nuhmu
tak singgahsinggah pada dermaga darahku
Hu Allah darahku hanyut dalam darahmu
kutubku tenggelam dalam kutubmu
menghempas napas darahku membatubara
di kunci rahasia Alifmu Alif Alif
darah Adamku yang terdampar di bumi
yang rapuh berabadabad mencari darah Hawaku
yang rapuh tersesat di belantaramu meraung
darah laparku mencakarcakar mencari darahku
beri aku barang setetes Hu Allah
getar alir napas menyeru darahmu
mengalir darah mataku mengalir darah musafir
di sajadahmu mengalir menuju rumahmu

darah hidupku Hu Allah
darah matiku Hu Allah
darah hidupmatiku Hu Allah
darah raungku Hu Allah
darah cakarku Hu Allah
darah laparku Hu Allah
darah hausku Hu Allah
darah ngiluku Hu Allah
darah rinduku Hu Allah
manakala darah tak keringkering
mendustakan firmanmu dan tak hentihenti
berpaling pada jalanmu
malam tak lagi malam siang tak lagi siang
bulan bintang matahari kehilangan terang
apatah lagi yang mampu meneteskan
darah kehidupan Hu Allah

semesta bergoncang Hu Allah
arasy pun bergoncang Hu Allah
darahku aujubillah
darahku astagfirullah
darahku subhanallah
Allah

Banjarbaru, 2004

Ali Syamsuddin Arsi ( Banjarbaru )


Lahir di Barabai (HST) 1964. Setelah lulus SMA di Jogyakarta kuliah di UT (S I ) Bahasa dan Sastra Indonesia (2000). Pernah aktif pengurus Dewan Kesenian Kotabaru (1998-2002) dan Dewan Kesenian Banjarbaru (2001-2005). Pendiri Forum Taman Hati (ketua). Di Perkumpulan Orang Biasa (POB) menerbitkan Sloka Tepian. Mendapat hadiah seni dari Bupati Kotabaru (1999) dan Gubernur Kalsel (2005). Tulisannya per4nah dimuat di beberapa penerbitan antara lain Banjarmasin Post,Wanyi, Radar Banjarmasin, Dinamika Berita, Majalah Bahana (Berunai), Jendela Serawak (Malaysia) dan lain-lain. Kumpulan puisi pribadi : ASA (1986), Seribu Ranting Satu Daun (1987), Tafsir Rindu (1989), Bayang-Bayang Hilang (2004). Kumpulan puisi bersama : Bandarmasih (1985), Bias Puisi dalam Al Quran (1987), Festival Puisi se Kalimantan (1992), Tamu Malam (1996), Wasi (1999), Bahana (2001), Narasi Matahari (2002), Mendulang Cahaya Bulan (2004), Dimensi (2005) dan lain-lain. Salah satu puisinya :

Bermain Bersama Anak-anak
Memasuki ruang kasih kalian aku menjadi asing dalam kebersamaan
namun izinkanlah, walau sepintas mungkin tak pantas
aku sudah berupaya agar cinta kita tetap terjaga
seperti kisah-kisah binatang yang sering mengantarkan tidur kalian
setiap malam, atau malam-malam yang lain
ada banyak tayangan, kenangan bahkan panutan
dari bayang-bayang kehadiran, karena dongeng itu
selalu saja menjadi pilihan utama, selain harus lebih banyak
membaca buku-buku cerita sebagai hadiah kenaikan kelas kalian
Memasuki ruang mimpi kalian aku menjadi sesat dalam kesendirian
sementara jalan yang kau lalui tak semuanya aku pahami
tapi tali kendali layang-layang kalian dengan teguh harus kupertahankan
karena angin di luar berhembus sangatlah kencang
belantaramu, ternyata lain dengan rerimbun di zaman berbeda
izinkan aku ikut bermain di tengah-tengah kalian

Tuhan, jarak seperti apa lagi yang akan engkau paparkan
dari lika-likunya kasih dan sayang, sementara cinta
haruslah tetap dipertahankan
walau sampai ke batas kematian
karena keabadian itu merupakan sumber bayangmu
dari zaman ke zaman, dari ruang ke ruang

Tuhan, atas izinmu aku lebih memilih bersama mereka
walau tidaklah harus di tengah mereka
karena di balik dunia, ternyata dunia lain juga ada

Banjarbaru, November 2005